PRAJURIT JAGA MALAM
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu......
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !
Karya : Chairil Anwar
(1948)
Siasat,
Th III, No. 96
1949
KRAWANG-BEKASI
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
Karya : Chairil Anwar
(1948)
Brawidjaja,
Jilid 7, No 16,
1957
SAJAK PUTIH
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah...
Karya : Chairil Anwar
DERAI DERAI CEMARA
cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
Karya : Chairil Anwar
DOA
kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
Karya : Chairil Anwar
13 November 1943
PENERIMAAN
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
Karya : Chairil Anwar
Maret 1943
AKU
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Karya : Chairil Anwar
Maret 1943
Tragedi Anak Bangsa
hatiku pernah tertinggal
di sudut-sudut kota
di pinggir-pinggir kehidupan
dan di dusun sunyi berbatasan sungai
penuh tragedi
hatiku pernah tertinggal
dengan iba
ketika air mata habis dalam duka
bersama anak yatim dan janda nestapa
dalam puing dan debu hunian mereka
tuhanku, engkau telah menjadi saksi
di tanah beku, dingin dan tak ramah
ambon, poso, sampit dan atambua
di relung kegelapan tetesan derita
tertegun aku ketika nurani berbisik
dan mengetuk rebana kerinduan
tuk berlari dan menyapa
kembang perdamaian yang kini mekar
sayap persaudaraan yang kini mengangkasa
dan hujan kasih sayang yang membasuh
pertiwi
dari taman sari, relung sanubari
dari pelataran, getar alam pikiran
bukan di ujung palu dan tajamnya pedang
Karya : Susilo Bambang Yudhoyono
jakarta, 07 januari 2004
Palagan Terakhir
Kutatap bukit menoreh pewaris legenda
Guratan sejarah ketika raja berebut tahta
Di sepanjang pelana, di kolong awan jingga
Ksatria berlaga untuk sebuah nama
Meski menoreh tak terbakar karena ilalangnya
Api amarah tetap menyala
dan tak pernah padam,
membakar jiwa yang haus kuasa
dalam kemarau panjang
dan bencana persaudaraan di tanah Jawa
Di malam hening, bebatuan bertutur kisah
ksatria muda yang bertafakur di akhir laga
menengadah, dan membisikkan pesan
untuk sebuah zaman yang belum datang
Biarlah bukit ini mengakhiri kisahku
dan mengubur mimpi-mimpi buruk
di atas palagan tak kering darah
Dengan hatiku
Kupadamkan bara penebar maut dan dan raga
Di sini. Di tanah ini
Karya : Susilo Bambang Yudhoyono
Semarang,26 Januari 2004
Kasih dan Kehidupan
Halusnya jari-jari lentik memetik gitar di halaman belakang ketika anggrek bulan tengah mekar
Merdunya tembang penyanyi tua dalam lantunan kasih dan getar rindu suka cita di masa silam
Ya, Rabbana teduh jiwaku dalam syukur ketika kau turunkan rahmat di kehidupan yang bening dan tulus
Meski hatiku terus berkelana di liku bukit medan kembara langkahku tak sesat, atau terjatuh di ngarai tandus tak bersahabat karena di balik cakrawala kulihat mentari pagi berdendang melambai menabur kasih dan cahaya kehidupan
Karya : Susilo Bambang Yudhoyono
Jakarta,21 januari 2004
KOMPONEN SISTEM INFORMASI
12 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar